Pernah nonton film The Pursuit of Happyness?
Setiap teringat film itu saya berpikir soal
sulitnya mencari pekerjaan. Kalian pasti ingat bagaimana si Chris Gardner
ditinggal istrinya karena istrinya kecewa dan tak bahagia. Lalu si Gardner
susah payah menjual mesin pemadat tulang ke dokter-dokter. Dia berlari-lari ke
sana ke mari dengan anaknya, tidur di toilet, lalu melamar di perusahaan
pialang saham dengan segala keterbatasan. Saat hendak ujian, dia
membaca buku di tempat gelap dan setiap hari mengantri untuk bisa tinggal di
penginapan tuna wisma. Ngeri sekali.
Lalu saya terpikir, saya sebentar lagi lulus
kuliah. Tinggal 1 setengah tahun lagi. Bagaimana nasib saya nanti? Bagaimana
saya bisa menafkahi orang yang saya cintai? Bagaimana membahagiakan mereka?
Waktu saya untuk mengambil tanggung jawab sebentar lagi tiba.
Saya mendadak deg-degan. Saya kuliah di jurusan
filsafat. jurusan yang tidak menjanjikan nafkah melimpah. Anak istri nanti tak
bisa makan argumentasi dan proposisi filosofis. Apalagi makan cinta. Preeeeet
cinta. Cinta itu tak bisa menanak nasi.
Saya mulai kepikiran untuk kerja dari sekarang.
Saya punya passion di bidang mengajar. Kebetulan ada lowongan untuk mengajar di
bimbingan belajar, Tanpa pikir panjang saya mendaftar untuk jadi pengajar
ekonomi, sosiologi, dan sejarah.
Kamis, 30 Oktober 2014 adalah hari bersejarah, hari
pertama kali saya melamar kerja. Deg-degan. Bermodalkan sebuah map berisi
formulir pendaftaraan, transkrip nilai, kartu identitas mahasiswa, dan ucapan
basmallah saya berangkat ke tempat bimbingan belajar di kutek.
Di formulir pendaftaran ada tabel prestasi. Waduh
saya manusia tanpa prestasi dan jarang ikutan lomba. Saya tulis saja pernah
beasiswa ke Syria, entah itu prestasi atau bukan yang penting tabel itu tidak
kosong. Saya mau mencantumkan pernah menang juara 2 lomba balap karung tapi
tidak jadi. Malu ah.
Lalu ada tabel pengalaman kerja. Saya pernah
bekerja freelance di Mizan Application Publisher (MAP). Alhamdulillah pernah
kerja ya Allah. Waktu itu MAP akan membuat smartphone khusus untuk jama’ah
haji, saya menjadi redaksi yang menulis materi soal tips perjalanan haji dan
kamus bahasa arab-indonesia sederhana untuk jama’ah haji. Saya juga pernah
mentranslet term and condition aplikasi hafidz (aplikasi untuk penghafal
Al-Qur’an dari MAP) ke bahasa arab.
Saya jadi tersadar. Saya sekarang masuk ke sebuah
masa di mana saya tidak lagi dilihat secara fisik dan materi. Dulu ketika SMP
dan SMA anak populer dan terpandang itu yang ganteng dan cantik atau yang orang
tuanya tajir. Ingatlah di umur 20an itu tak lagi terjadi. Sekarang orang
melihat saya dari prestasi dan pengalaman saya. Kamu punya prestasi apa? Punya
pengalaman apa? Apa karya dan keahlian kamu?
Singkat cerita saya dan Putri sampai ke tempat
bimbingan belajar. Saya serahkan map lamaran saya ke orang yang duduk di
belakang meja. Saya tanya namanya
“Namanya siapa mas?”
“Nama saya Lukman”
“Saya Ginan. Hehe. Mas dari Bogor ya?”
“hah? Bukaaan.”
“hahahaha. Kirain saya dari Bogor mas. Soalnya saya
dari Bogor”
Si mas Lukmannya bingung. Hahaha
Kami mengobrol enam mata, saya, Putri, dan Lukman.
Lukman ini lulusan Sastra jepang UI. Dia angkatan 2009. Penah satu tahun riset
di Jepang, katanya sih di Shiba, sebelah timur Tokyo. Asyik betul bisa ke
Jepang. Suatu hari saya ingin ke Jepang juga dengan seseorang.
Sekarang Lukman kerja menjadi tenaga adminitrasi di
bimbingan belajar. Katanya teman-teman yang lain bekerja di perusahaan Jepang
di Indonesia.
“Lulusan UI mah tenang aja. Insya Allah langsung
kerja”
Iya mas. Saya mau kerja dari sekarang biar banyak
pengalaman. Kata saya dalam hati.
Saya baru membaca buku Rich Dad, Poor Dad. Buku
yang provokatif untuk mendorong diri jadi orang kaya. Ada beberapa pelajaran
penting dalam buku itu. Katanya, orang kaya bekerja untuk belajar, bukan
bekerja untuk uang. Dari belajar inilah kita menjadi bisa menghasilkan uang
yang lebih banyak. Uang hanya akan terbuang tapi ilmu dan pengalaman akan
mengantarkan pada uang yang lebih besar.
Lalu, Kita harus bisa membedakan aset dan
liabilitas untuk jadi orang kaya. Kebanyakan orang yang punya uang tidak cerdas
secara finasial, mereka terus membeli barang, padahal barang itu tidak berguna
bahkan membuat mereka terbebani pajak dan pengeluaran. Misalnya orang kelas
menengah yang membeli mobil. Mobil itu bukan aset tapi liabilitas. Dengan
membeli mobil orang kelas menengah menjadi kesulitan. Dia mesti membayar pajak,
harus ganti oli, harus isi bensin, harus servis, dan banyak lagi. Mereka tak
bisa kaya karena banyak membeli barang yang membebani finansial. Orang harus
mulai hidup sederhana dan membelanjakan uangnya untuk membangun aset. Setelah
aset bisa membuat uang bekerja untuk kita baru deh boleh membeli barang-barang
mewah.
Aduh kok malah bicarain itu sih. Ayo kembali lagi
ke soal melamar kerja. Saya jadi kepikiran soal pemuda dan kerja. Saya membaca
buku biografi Steve Jobs. Dia mulai bekerja dari umur 16 tahun. Di luar negri
memang lazim anak muda bekerja. Malah ketika umur 18 tahun mereka tak lagi
bergantung pada orang tua dan harus mencari nafkah sendiri.
Manusia itu homo faber. Manusia pekerja. Bekerja
adalah esensi manusia. tanpa kerja manusia jadi tak terpenuhi esensinya. Saya
berpikir, wah mungkin ini yang membuat saya banyak galau dan gelisah. Karena
saya belum mulai bekerja, maka dari itu saya sebagai manusia belum tuntas.
Dengan bekerja dan menghasilkan nafkah dari keringat sendiri, saya jadi bisa
merasa utuh dan berguna. Ya saya jadi tidak sabar untuk mulai mengajar.
Ternyata tidak cukup dengan mengisi formulir,
transkrip nilai, dan fotokopi kartu indentitas mahasiswa saja. Saya nanti akan
menjalani tes tulis untuk kemampuan ekonomi, sosiologi, dan sejarah. Waduh.
Saya mesti belajar. Lalu ada wawancara. Semoga saya bisa lolos dan jadi
pengajar.
Bismillah.
No comments:
Post a Comment