Thursday, 11 September 2014

The Sublime


Saya seorang bocah petualang. Hanya saja saya kurang beruntung, saya tidak pernah masuk TV. Orang-orang tidak tahu saya bocah petualang, maka saya perlu menuliskan ini.

Setiap pulang sekolah saya pergi ke sungai Cianten, itu sungai terbesar di Bogor Barat. Saya dengan teman-teman berlari dari sekolah ke sungai dengan sangat semangat untuk melupakan marahnya pak Enday guru matematika. Kami akan berenang dan membiarkan arus sungai membawa kami.

Cianten sungai yang lebar. Perkiraan saya 25 meter. Kedalamannya 1-3 meter. Arusnya pelan tapi ketika mendung kami mesti berhati-hati, arusnya menjadi ganas dan tubuh kami tak kuat menahan arus terlalu deras. Saya bermain dengan teman-teman, kami berenang seperti kawanan hiu yang pulang dari SEDIH (SEkolah Dasar Ikan Hiu). Seru sekali! Berenang di Cianten adalah pengalaman manis yang tak bisa saya lupakan.

Saya juga seorang bocah pendaki. Saya punya teman orang Leuweung Kolot. Saya sering main ke rumah teman saya itu. Dia memelihara burung merpati, saya pernah coba investasi burung merpati dan burung saya mati kena muntaber. Saya sedih sekali. Karena saya sedih ini teman saya mencoba menghibur dengan mengajak saya dan teman-teman untuk naik gunung di Leuweung Kolot. 

Saya tidak tahu gunung apa namanya dan seberapa tingginya, kira-kira 500 meter lebih dari permukaan laut. Saya dan teman-teman naik gunung menghabiskan waktu 2,5 jam. Wah seru sekali mendaki. Kami memegang batang-batang pohon untuk membantu mendaki gunung yang menanjak tajam. Sepatu teman-teman saya kotor, sepatu saya tidak kotor, karena saya memakai sendal. 

Ketika sampai ¾ jalan, kami kewalahan. Kami nyaris menyerah tapi teman saya menyemangati..

“Ah ayo dong. Tinggal sedikit lagi! Nanti di atas kita akan dekat dengan awan. Nanti di atas kita akan lebih dekat dengan langit biru!”

Mendengar kalimat itu kami jadi semangat lagi, tapi lelah dan pegal kaki tak hilang. Haus juga tak hilang. Semangat itu ternyata tidak langsung menyelesaikan masalah. Tapi lumayanlah bisa membuat tubuh bergerak lagi untuk mendaki.

Setelah perjalanan panjang. Akhirnya sampai. Wuaaahhhh. Indah sekali pemandangannya. Dari naik gunung dan sampai di puncaknya saya belajar beberapa hal.

Pertama. Menyerah berarti tak melihat yang indah. Menyerah berarti kita berhenti di susah.
Kedua. Semakin tinggi kita mendaki, semakin indah pemandangan yang bisa kita lihat.
Ketiga. Tak perlu jadi sebesar gunung untuk membuat segala hal jadi kerdil. Cukup mendakinya saja. Dan akhirnya semua yang kita lihat jadi tampak kecil.
Keempat. Maha suci Allah sang pencipta alam yang indah. Saya amat kerdil di hadapan ciptaan-Nya yang lain. Dengan menghadapi ciptaan-Nya yang megah, saya merasakan takut bercampur kagum. itulah yang dinamakan pengalaman sublim.

Saya pikir manusia saat ini tak lagi dekat dengan alam. Manusia menjadi miskin pengalaman menghadapi yang sublim. Menghadapi gunung yang besar dan tinggi menjulang. Menghadapi pohon hijau dan memanjatnya atau duduk di bawahnya menikmati angin sore. Sebagian besar manusia sudah tak lagi memetik buah dengan tangannya sendiri langsung dari pohonnya, tak lagi berburu dan menghadapi alam. Manusia sekarang tak lagi begitu.

Manusia jaman dulu bila ingin minum air, ia harus pergi ke sungai atau mendaki gunung mencari mata air. Untuk makan pergi ke hutan mencari hewan buruan dan tak jarang bertemu harimau, jantung berdebar dan dekat dengan mati. Jaman sekarang tak lagi begitu.

Takutnya manusia tak lagi oleh hal yang mendebarkan dan bahaya, tapi takut karena ambisi dan gengsinya tak tercapai. Sesungguhnya itu pendidikan yang berbahaya untuk jiwa-jiwa manusia.

Terkagumnya manusia tak lagi oleh pemandangan alam yang megah, tapi oleh benda-benda yang mahal dan tak terlalu kita butuhkan. 

Ah saya tak sanggup lagi berkata-kata. Sepertinya komik ini lebih jelas menggambarkan apa yang saya maksud. http://existentialcomics.com/comic/18

No comments:

Post a Comment