Senja itu saya berteduh dari tikaman hujan langit pasar Kebayoran. Saat itu saya tidak sendirian, saya bersama faiz, seorang kawan
Untuk mengisi waktu yang menjadi bosan, saya dan faiz ngobrol-ngobrol santai, sampai pada pertanyaan Faiz kepada saya
“A Ginan, pelajaran paling berharga apa yang a Ginan dapat ketika belajar di Syria?”
Saya diam sejenak, mengerutkan dahi, kemudian menjawab
“iz, pelajaran paling berharga yang saya dapat itu adalah pendidikan menjadi minoritas”
###
Saya tumbuh di lingkungan yang sama sedari kecil hingga dewasa. Lingkungan yang sangat kental tradisi, pemikiran, dan keyakinan Muhammadiyah. Hingga membentuk pola pikir, kebiasaan, dan set pengetahuan saya mengenai dunia dengan perspektif lingkungan saya.
Saya mengawali perjalanan pendidikan saya di TK Aisyiyah Muhammadiyah, Selanjutnya di MI Muhammadiyah, lalu di Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah.
Nyaris saya menjadi manusia Muhammadiyah super, jika saja saya kuliah di perguruan tinggi Muhammadiyah. Tapi Allah ingin mendidik saya suatu pendidikan yang sangat penting, pendidikan menjadi orang kecil, pendidikan menjadi minoritas.
Saya terlempar jauh dari Indonesia sekitar 10000 KM. Di sebuah tempat yang sangat asing. Syria, sebuah negara di Asia, dekat dengan Turki, Libanon, Irak, dan Palestina.
Untuk apa saya ke Syria? Saya ke sana dalam rangka melanjutkan studi saya setelah lulus Aliyah. Sekolah saya di Syria adalah sebuah boarding school, siswanya berasal dari 50 negara muslim di dunia. Di sanalah saya bertemu dengan orang-orang berbeda budaya, bahasa, kebiasaan, pola pikir, bahkan ‘keyakinan’ walaupun kami semua muslim.
Selama 18 tahun saya berada di zona nyaman, setiap orang di sekeliling saya memiliki perangkat keyakinan dan pola pikir yang sama dengan saya, sehingga tidak ada perdebatan yang sangat tajam antara saya dan teman-teman di lingkungan saya.
Ketika saya berada di tempat baru, Syria. Saya menemukan momen keterasingan. Pendapat-pendapat yang menjadi kebenaran kolektif di lingkungan saya yang lama malah dianggap kebenaran yang asing bahkan ditolak. Saya jadi berpikir ulang mengenai struktur pengetahuan yang saya punya.
Saya yang tadinya ada dalam rahim mayoritas, terlahir menjadi seorang minoritas. Contohnya, saya dan komunitas saya terdahulu setiap sholat shubuh tidak pernah melakukan qunut (doa tambahan selepas rukuk di rakaat terakhir sholat shubuh, dilakukan dengan menengadahkan tangan). Di Syria, teman-teman dan ustadz saya melakukannya.
Kawan-kawan pelajar Indonesia di Syria mayoritas anggota Nahdhatul Ulama, memiliki tradisi yang asing bagi saya. Saya di Syria sendirian. Tapi saya diperbolehkan ikut serta dalam acara-acara mereka bahkan diberikan kesempatan untuk berbicara dalam diskusi dan forum lainnya. Saya merasa diayomi dan diterima walaupun saya dari latar belakang yang berbeda.
Apalagi ketika saya dihadapkan dengan teman-teman yang berbeda negara. Saya menjadi sadar bahwa Indonesia dan suku saya yaitu Sunda, begitu amat kecil di hadapan dunia. Saya hanya bagian kelompok minor dari kelompok-kelompok yang ada di semesta.
Perbedaan itu kaya dan pengetahuan begitu lentur dan luasnya. Teman-teman saya berasal dari Afrika, Asia, Eropa, Australia, Rusia, masing-masing berbeda dan punya pengetahuan masing-masing. Saya tidak bisa memaksakan keyakinan saya dan pengetahuan saya sebagai sesuatu yang benar secara absolut, itulah yang saya sadari. Dan tentu saya pun tidak menerima jika teman-teman saya itu memaksa saya untuk menerima pengetahuan dan keyakinannya pada saya.
Ketika menyadari rasa kemayoritasan saya sejatinya adalah keminoritasan. Makna mayoritas dan minoritas menjadi luluh dan lebur bahkan tak lagi berarti.
Saya, kamu, dia, mereka menjadi kita. Pengetahuan berbeda bukan untuk diperdebatkan, bukan untuk diperlombakan siapa yang unggul, tapi dijadikan sarana untuk saling mengenal. Mengenal kelemahan dan keterbatasan diri kita sendiri. Mengenal ketidakterbatasan kemungkinan untuk berteman dan bersahabat.
###
Kakak kelas saya di pesantren, Maulana M Syuhada (kang Maul). Pada satu kesempatan pernah bercerita mengenai pengalamannya beberapa tahun di Jerman dan Inggris sebagai mahasiswa. Betapa lega dan senangnya ketika orang-orang di sekitar kang Maul menoleransi dan mempersilakan untuk sholat jum’at. Bosnya kang Maul memberikan izin untuk menunaikan ibadah shalat 5 waktu selagi jam kerja. Bahkan menyiapkan santap sahur dan berbuka bila Ramadhan tiba. Padahal kang Maul itu seorang muslim, bukan agama yang dianut mayoritas warga Jerman dan Inggris.
###
Di bumi yang indah ini ada orang-orang intoleran dan begitu alergi pada perbedaan. Orang-orang inilah yang mengganggu dan mengacaukan indahnya kebersamaan.
Saya pribadi merasa kasihan kepada orang-orang yang intoleran dan alergi perbedaan. mereka sesungguhnya orang yang kurang luas pergaulan dan minim pengalaman. Hingga pikirannya tak terbuka. Padahal pikiran itu seperti parasut, hanya berguna apabila ia terbuka.
Mereka dengan susah payah meminta pengakuan dan tuntutan akan kebenaran yang mereka agungkan, hingga lupa memberikan salam dan sapa pada tetangganya yang berbeda keyakinan.
Mereka belom pernah merasakan menjadi minoritas
Mereka belom pernah merasakan kasih sayang dari orang yang berbeda kelompok dan latar belakang
Mereka orang yang masa kecil, remaja, muda, dan dewasanya kurang cinta dan mencintai
Semoga saja Allah menyekolahkan mereka tentang pendidikan menjadi minoritas.
No comments:
Post a Comment