Sebagai manusia yang menginginkan tantangan dalam pengembaraan sains, pastinya kita memilih menjadi seorang skeptis, orang yang selalu meragukan teori semapan apapun dan sekuat apapun argumen teori tersebut. Seorang skeptis berada di ujung pagar ilmu pengetahuan, melihat lebih dekat pada fenomena dan fakta, tidak hanya duduk, membolak-balik halaman buku, dan membaca teori-teori di ruang tengah ilmu pengetahuan.
Seorang skeptis percaya dunia empiris lebih kaya di banding dunia teori. Falibilisme menjadi sebuah keyakinannya, apa yang diteorikan orang mungkin bisa salah, kita harus melacaknya sendiri dengan keraguan dan segudang rasa ingin tahu.
Konsekuensi menjadi seorang skeptis ada dua hal : Konsekuensi pertama dia akan menjadi seorang optimis terhadap ilmu pengetahuan. Mengapa sebagian skeptis merasa optimis pada ilmu pengetahuan? Karena orang lain yang berteori dan mengajukan argumen mungkin saja salah, dengan demikian tumbuhlah keinginan dalam diri seorang skeptis untuk mengkoreksi dan mencari penjelasan yang lebih baik, sehingga dengan usahanya itu dia akan mendekati kebenaran. Ilmu pengetahuan bisa mendekati kebenaran jika kita terus skeptis dan mencari tahu.
Konsekuensi kedua bagi orang skeptis adalah menjadi orang yang pesimis terhadap ilmu pengetahuan. Mereka sadar akan kerapuhan ilmu pengetahuan, tidak ada ilmu pengetahuan yang mampu menggambarkan realitas, karena realitas yang sangat partikular ini bisa mengejutkan dengan kehadiran fakta-fakta baru yang menggugurkan kesimpulan hasil eksperimen. Setiap disiplin ilmu memiliki lubang dan tanda tanya, setiap basic belief yang menjadi fondasi pengetahuan tak memiliki alasan yang rasional, basic belief hanyalah asumsi. Ilmu fisika yang katanya pasti, matematik yang katanya tegas dan memiliki kebenaran tunggal sejati, ternyata memiliki error dan inkonsistensi. Skeptis mendestruksi ilmu pengetahuan, runtuh luluh lantak, yang tersisa hanya puing-puing kegalauan karena kita tak bisa yakin pada apapun, menyedihkan.
Bagi orang yang optimis, penyelidikan ilmiah akan terus berlanjut, mereka akan tetap hidup dalam dunia ilmu pengetahuan. Lalu apa yang terjadi pada orang skeptis yang pesimis? Mereka hijrah, beralih ke pragmatisme.
Definisi pragmatism menurut oxford english dictionary adalah an approach that evaluates theories or beliefs in terms of the success of their practical application.
Apalah gunanya sebuah teori jika ia tidak memiliki sisi praktis? Kita tahu bagaimana cara menghilangkan sakit kepala, yaitu dengan meminum obat, tapi jika yang kita lakukan hanya mengingat-ingat merk obat sakit kepala, tentu saja itu tak akan membuat kepala yang pusing menjadi pulih. Teori tanpa praktisi sama dengan basi.
Perdebatan tentang hakikat yang amat melelahkan sudah menguras tenaga dan pikiran kita. Pertarungan untuk mencapai kebenaran telah menghabiskan umur dan waktu, hingga akhirnya kita tersadar, apa gunanya kita memikirkan itu semua? Apa gunanya kita memahami hakikat dan bertengkar dalam perlombaan konyol “siapa yang benar?” “apa yang esensial dan hakikat?” masturbasi rasio yang tak menghasilkan apa-apa! Maka seorang yang awalnya mendeklarasikan sebagai seorang falibilist, Charles Sanders Peirce, beralih menjadi seorang pragmatis.
Filsafat adalah hal praktis, bukan sebuah teori. Kita berpikir, kita menelaah, kita merefleksikan kehidupan, dan terus berdialektika dalam nafas filsafat. Saya tegaskan kembali, Filsafat bukan teori, tapi kegiatan. Filsafat itu kata kerja! Maka jika orang mengatakan filsafat jauh dari hal praktis, dia telah terperosok pada jurang salah paham. Saya juga menegaskan, melalui praktik maka kita menghasilkan teori, bukan sebaliknya! Maka dengan demikian, kajian epistemologi mesti melayani praxis!
Dalam pragmatisme, benar atau salah bukan lagi masalah. Konsekuensi dari menjadi seorang pragmatis adalah kita meninggalkan kata “Truth”. Kebenaran sudah tidak diperlukan, tong sampah layak baginya, tak perlu juga kita daur ulang! Hiduplah nilai Guna! Dengan demikian, Pragmatisme melahirkan Utilitarianisme ; Standar dalam kita mengambil sebuah keputusan praktis adalah sebesar-besarnya nilai guna.
Jika dalam skeptisme dan aliran lain dalam filsafat ilmu pengetahuan, mereka masih percaya adanya kebenaran tunggal, reduksi dan eliminasi menjadi metode. Pragmatisme lain dari itu, bukan yang tunggal yang dicari, yang kita cari adalah alternatif, semakin banyak alternatif maka semakin baik. Pragmatisme mensyaratkan kreatifitas, yang kita lakukan mengakali fakta dan realitas agar manfaat yang dihasilkan lebih berkualitas.
Ada dua aliran dalam pragmatisme, pertama adalah realibilisme. Menurut Stanford Encyclopedia of Philosophy, Reliabilism is a general approach to epistemology that emphasizes the truth-conduciveness of a belief-forming process, method, or other epistemologically relevant factor.
Reabilisme secara simple diartikan sebagai sebuah paham yang mementingkan keberandalan sebuah teori. Jika teori yang dijelaskan bisa diandalkan, maka teori itu yang diambil menjadi sebuah landasan praktis. Realibilisme mensyaratkan 4 hal yaitu :
- Teori berbentuk Parsimony (simplisitas)
Maksudnya, teori yang disampaikan hanya memiliki sedikit asumsi tapi menjelaskan sangat banyak hal, contohnya, teori evolusi. Mungkin teori evolusi itu tidak benar-benar benar. Benar atau tidak teori evolusi, yang penting dia bisa diandalkan dan menjelaskan banyak hal. Dengan berlandas teori evolusi, maka kita bisa mengetahui lebih jauh tentang biologi, psikologi, asal-usul dan perkebangan makhluk hidup bahkan alam semesta.
2. Teori harus koheren
Premis-premis yang ada dalam teori tidak saling membatalkan. Premis-premisnya membangun sebuah pemahaman rasional dan logis mengenai teori tersebut. Misalnya teori tentang punahnya dinosaurus diakibatkan oleh jatuhnya meteor jutaan tahun yang lalu. jika ada yang mengatakan diosaurus hidup berdampingan dengan manusia, sangat jelas proposisi tersebut tidak koheren dengan teori kepunahaan dinosaurus akibat meteor. maka teori yang andal tidak akan demikian, ia akan memiliki premis-premis yang satu plot.
3. Testable
Teori bisa diuji dan dibuktikan dengan eksperimen. Dia tidak mengawang di dunia ide, tapi bisa diverifikasi dan divalidisasi keberandalannya. Misalnya teori hukum newton tentang gravitasi yang bisa kita tes dengan menjatuhkan benda dari udara bebas, maka benda itu akan jatuh ke tanah tertarik oleh gaya gravitasi.
4. Komprehensif
Teori yang dipaparkan bisa menjelaskan keseluruhan fakta dan fenomena dengan utuh. Ini yang sangat sulit dilakukan oleh sebuah teori. Misalkan teori karl Marx tentang ideologi bisa diandalkan, karena apa yang dijelaskan Marx komprehensif. Bisa menjelaskan apa itu ideologi dan dikaitkan dengan realitas yang terjadi pada revolusi industri di Eropa.
Realibilisme bentuk selanjutnya adalah aliran baru yang digagas oleh Stephen Hawking, Seorang Fisikawan Inggris. Dia mengenalkan model dependent realism, realitas bergantung pada model. Ini hanya bisa dijelaskan dengan contoh.
Misalkan ada kereta yang sedang melaju 100KM/Jam. Di dalam kereta itu ada seekor lalat yang sedang terbang. Kita yang duduk di kereta tersebut melihat lalat hanya melayang di dalam kereta itu. Seorang pengamat di luar kereta melihat lalat tersebut melesat cepat dengan kecepatan 100KM/Jam Pertanyaannya, berapa sebenarnya kecepatan lalat tersebut?
Jika kita melihat dari luar kereta, kita akan melihat si lalat itu terbang 100KM/jam sama seperti kecepatan kereta tersebut. karena secara koheren, kita pasti berpikir lalat tersebut harus memiliki kecepatan yang sama dengan kereta, sehingga dia tidak tertinggal oleh kereta tersebut dan terlihat melayang di tempat. Tapi ternyata bagi orang yang mengamati lalat tersebut, dia hanya melihat lalat itu melayang, tidak memiliki kecepatan 100KM/jam. Pertanyaan selanjutnya, lalu siapa yang benar? Pengamat yang berada di luar kereta? Atau orang yang mengamati dalam kereta?
Contoh yang lain. Einsten berteori bahwa cahaya itu bisa berbelok oleh gravitasi, tapi kita melihat bahwa cahaya merambat tegak lurus. Maka diadakanlah sebuah eksperimen, dari suatu tempat kita menembakkan cahaya laser yang sangat kuat ke tempat yang sangat jauh. Dari titik A ke titik B Kita melihat cahaya itu lurus sempurna. Kita yang melihat lurus ini sebenarnya telah tertipu. bumi ini berbentuk bola bukan? Sebenarnya cahaya yang kita tembakkan itu berbelok oleh graviasi. Pertanyaan yang sama lagi, Siapa yang benar? Pengamat yang melihat cahaya laser itu tegak lurus? Atau Einsten yang mengatakan cahaya itu berbelok oleh gravitasi?
Masih belum puas? Saya kasih contoh lagi. Bumi ini bergerak 3600KM/detik. Kamu berdiri di salah satu tempat di bumi. Kemudian kamu loncat di tempat. Pertanyaannya, berapa gerak perpindahan yang kamu lakukan? 0 meter? Atau 3600 KM?
Relativitas!! Model dependent realism! Realitas nampak sebagai model!
Kita tidak bisa menarik sesuatu yang utuh dari realitas, yang bisa kita tangkap hanya model-model tertentu yang kita jadikan point of view. Misalkan dalam fisika. Ada model klasik dan model modern. Model klasik adalah mekanikanya Newton dan model moderen adalah relativitasnya Einsteins. Dua-duanya tidak saling menggugurkan dan tidak ada yang paling benar di atas yang lain. Semua model bekerja tergantung apa yang dbutuhkan. Untuk membuat sebuah rumah misalnya, yang kita butuhkan model mekanikanya Newton. Tapi jika kita ingin membangun jaringan komunikasi frekuensi, kita membutuhkan fisika modern Eisntein.
Tugas seorang filsuf atau ilmuwan adalah membuat model-model ilmu pengetahuan. Dia membangun sebuah teori lalu diperkuat dengan hitungan matematis. Ini akan menjadi model yang bisa digunakan sebagai pendekatan untuk melihat realitas. Rumus-rumus fisika, kimia, biologi, yang sekarang kita pelajari adalah model-model yang diciptakan oleh ilmuwan untuk kita bisa melihat realitas tersebut.
Dengan demikian Pragmatisme sangat dekat dengan model dependent realism. Model-model yang diciptakan ilmuwan digunakan untuk praktis menciptakan kebermanfaatan untuk kehidupan manusia.
Akhir kata, Pragmatisme yang tergolong sebagai empirisme radikal, Cucu buyutnya materialisme, sangat penting untuk kehidupan kita. Untuk apa kita belajar teori-teori tapi hanya menghasilkan perdebatan menghabiskan umur tentang hakikat? Perdebatan ontologis itu hanya kepuasan bathin dan hiburan semata, bukan tugas inti ilmu pengetahuan dan filsafat. Bila seorang filsuf menjadi pragmatis, maka anggapan tentang filsuf sebagai orang yang tinggal di menara gading dan berteori tentang realitas tanpa berpijak ke bumi niscaya akan terhapuskan.
No comments:
Post a Comment