Perpustakaan menjadi bagian hidup saya. Saya dengan perpustakaan
seperti Somay dengan bumbu kacang. Begitu klop dan saling melengkapi.
Ceritanya berawal sejak SMA kelas X di pesantren. Saya adalah
anak SMA yang bodoh. Saat itu ada tes IQ, Teman-teman saya memiliki IQ yang
besar. Mereka berIQ 140, 135, 129. Mereka memang teman-teman saya yang jenius.
Coba tebak berapa IQ saya? dengan sangat sedih saya akan beri
tahu kalian, IQ saya hanya 101!
Bayangkan kawan-kawan pembaca. IQ saya 101! Gilaaaaa. IQ saya
hanya 1 poin lebih tinggi dari batas orang normal. Kurang dikit lagi saja saya
sudah ditolak di SDnya Forest Gump!
Ujian Fisika, Kimia, dan Biologi sangatlah bagus. Nilainya 4!
Sayang saat itu saya bukan anak kuliahan, tapi anak SMA. Masa SMA saya suram
banget deh. Apapun ujiannya pasti kena remedial. Aduh masa SMA adalah The Dark
Ages bagi saya.
Frustasi. Saya sering nangis karena gak bisa apa-apa. Hmm..
Sudah bodoh cengeng juga. Dasar lelaki pemakan somay ngutang.
Satu-satunya tindak intelektual yang bisa saya lakukan hanyalah
membaca. Walaupun saya bodoh dan IQ saya tidak bisa dibanggakan, setidaknya
saya tidak buta huruf. Oke, saya pikir-pikir saat itu, ada baiknya saya tidak
terlalu peduli dengan keterbatasan saya. lebih baik saya fokus pada apa yang
bisa saya lakukan. Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan lilin.
Saya bisa membaca. Hanya bisa itu. Maka saya bertekad akan
menjadi pembaca yang luarbiasa tekun!
Sekali baca saya tidak hanya memegang 1 buku. Kadang 3, 5,
paling banyak 7! Setiap saya merasa bosan dengan buku yang saya baca, saya
segera beralih ke buku yang lain. Sebenarnya saya tidak suka membaca, jadi saya
paksakan untuk suka. Ya mau bagaimana lagi, Cuma ini yang bisa saya lakukan.
Nah, karena itulah saya jadi sering ke perpustakaan pesantren
saya. Di sana lumayan tersedia banyak buku. Banyak buku sumbangan yang
bagus-bagus. Kakak kelas yang telah meninggalkan pesantren biasanya
menyumbangkan buku-bukunya ke perpustakaan.
Setiap hari saya ke perpustakaan. Sampai-sampai perpustakaan
pesantren saya itu jadi berbau khas kaki saya. hahahaha. Kaki saya bau
saudara-suadara. Untuk ke perpustakaan mesti buka sepatu. Ya habis keringetan
sekolah lalu ke perpustakaan membuka sepatu. Jadi bukan salah saya dong
perpustakaan jadi bau.
Vino menjadi patner saya dalam membaca. Kami duduk paling
belakang, di kolong meja kami tersimpan banyak sekali buku. Guru-guru silakan
berbicara di depan kelas, Saya dan Vino tetap membaca buku di bangku dengan
asyik.
Saya pernah bilang ke Vino
“No, klo kamu belum berhasil mengacak-ngacak rak buku
perpustakaan tempat kamu belajar atau sekolah, dan belum kau baca habis semua
bukunya, berarti kamu belum sungguh-sungguh lulus dari sekolah itu!”
Gila. Sungguh kalimat yang buat merinding. Kami berdua berhasil
membaca semua buku yang ada di perpustakaan pesantren kami. tapi setelah saya
kuliah di UI. Saya bingung bagaimana baca buku sebegitu banyaknya, perpustakaan
UI terbesar seAsia Tenggara cuy. Gimana saya mau baca semua bukunya?
Sedangkan Vino kuliah di Unpad, Dia sekarang maju sebagai ketua
BEM Unpad. Membaca banyak buku mengantarkan dia menjadi pemimpin di kampusnya.
Saat kelas XI saya membaca buku yang luarbiasa. Sebuah
Novel/Memoar karya John Wood berjudul Leaving Microsoft to Change The World.
John Wood seorang pejabat eksekutif di Microsoft. Setelah ia pergi ke Nepal
untuk mendaki Himalaya, hidupnya berubah. Dia menemukan orang-orang Nepal yang
kurang beruntung. Mereka tak memiliki perpustakaan yang memadai di sekolahnya.
John Wood menjadi terkenang masa kecilnya yang penuh dengan buku-buku.
John Wood akhirnya memutuskan untuk keluar dari Microsoft dan
mendirikan organisasi nirlaba bernama Room to Read. Perjuangan yang sungguh
inspiratif. hingga saat ini John Wood dengan Room to Readnya telah mendirikan
16,549 Perpustakaan, 1,824 sekolah, dan mendistribusikan 14,588,494 buku di
Bangladesh, Cambodia, India, Laos, Nepal, South Africa, Sri Lanka,Tanzania,
Vietnam and Zambia
Saya ketika membaca kisah perjuangan John Wood, badan jadi
gemetar dan takjub. Saya ingin seperti John Wood, mendirikan perpustakaan di
banyak tempat. Ini menjadi cita-cita saya.
Lalu hal mengharukan terjadi pada saya. Adik saya bernama Rusyda
Deviana, ketika ia lulus SMA dia bilang pada saya
“A Ginan, Devi mau lanjut kuliah di jurusan ilmu perpustakaan. A
Ginan pernah bilang ingin punya perpustakaan. Biar nanti Devi yang akan
mengelolanya a!”
So Sweet...
Saat ini Devi telah lulus kuliah jurusan ilmu perpustakaan, ia
bekerja menjadi librarian di SMAN 1 Leuwiliang. Semenjak Devi bekerja di sana,
pengunjung perpus menjadi membludak. Karena dulunya perpustakaan sekolah selalu
terbengkalai. Devi mengurus perpustakaan dengan sangat baik, sehingga
pengunjung pun menjadi tertarik untuk datang.
Setiap bulan perpustakaan yang dikelola Devi mendapat
penghasilan 1 juta rupiah dari peminjaman buku. Devi mempercayakan saya sebagai
rekomendator untuk pengembangan koleksi buku perpustakaan. Setiap bulan saya
belanja buku untuk perpustakaan. Saya bisa membeli buku apapun yang saya suka
dan ingin baca, hahaha. Untuk selanjutnya buku itu akan menjadi koleksi
perpustakaan SMAN 1 Leuwiliang.
Setiap bulan saya belanja buku sebesar 1 juta. Rupiah. Lumayan
bisa membeli beberapa belas buku dengan uang itu. Mimpi saya ingin memiliki
perpustakaan seolah telah terwujud. walau tidak menggunakan uang sendiri. Ya
seperti pepatah lama. Menikmati tidak harus memiliki. Hahaha
Ternyata buku-buku pilihan saya laku dipinjam anak SMA. Selara
saya memang bermutu. Akhirnya banyak yang suka datang ke perpustakaan dan rajin
meminjam. Haaah senang sekali.
Alhamdulillah saya jadi banyak sekali mendapat keuntungan. Saya
selalu bisa membaca buku yang ingin saya baca, saya tidak akan pernah
tertinggal untuk membaca buku terbitan baru, dan saya membantu sebisa saya
untuk kemajuan perpustakaan SMAN tempat Devi bekerja.
Saya anak SMA bodoh ini akhirnya bisa berguna. Gara-gara membaca
dan perpustakaan, saya jadi bisa menulis. Ya walau beginilah tulisan saya.
seadanya.
Itulah kisah saya dengan perpustakaan. Terimakasih sudah
membaca...
No comments:
Post a Comment