Sunday, 26 May 2013

Metode Meraih Pengetahuan yang Valid ala Aristotle, Bacon, dan Sherlock Holmes


Tulisan kali ini tentang metode meraih pengetahuan yang valid dan justified. dalam meraih pengetahuan ada tiga motede : Metode Aristoteles, metode Francis Bacon, dan metode Sherlock Holmes. Sebelumnya kawan-kawan perlu tahu apa arti dari pengetahuan. apa pengetahuan itu? pengetahuan itu kepercayaan yang teruji, alias justified belief.  ada perbedaan antara opini, pendapat, gagasan, kepercayaan, dan pengetahuan. Pengetahuan itu mesti memiliki publisitas, maksudnya, khalayak publik bisa menerimanya. pengetahuan tidak hanya kepercayaan dan pandangan pribadi, makanya pengetahuan itu memiliki derajat di atas kepercayaan karena pengetahuan itu kepercayaan yang teruji dan terbukti.
Pengetahuan itu tidak bisa sembarangan. Suatu hal menyedihkan sekali, saya mengamati banyak orang yang berdebat bukan di derajat pengetahuan, tapi mereka berdebat di tataran kepercayaan. Jika demikian, niscaya kita tidak bisa menyelesaikan perkara. Memiliki kemampuan untuk bisa membedakan pengatahuan dengan opini dan kepercayaan itu sangat penting agar tidak banyak terjadi debat kusir yang meanless. Sebuah argumentasi yang kuat dibangun dari pengetahuan, bukan kepercayaan dan asumsi. kita harus memastikan argumen kita kuat dan memiliki dasar pengetahuan yang valid dan terjustifikasi sehingga hidup ini berpijak pada kesejatian, bukan kesemuan.
oke, Kita mulai dari metode meraih pengetahuan yang valid yang diperkenalkan oleh Aristoteles.
Aristoteles adalah seorang murid Plato. ketika muda, tepatnya ketika ia berumur 23 tahun, dia belajar di Akademia. Untuk belajar di Akademia, calon pelajar mesti menguasai Matematik dan Geometri dengan mahir, jika Matematik dan Geometrinya jelek, pelajar itu akan ditendang keluar dari sekolah yang tak memiliki pintu itu.
Kenapa Matematik dan Geometri itu begitu penting? Ini akibat dari pemikiran idealis Plato. Menurut Plato, dunia itu dualis, ada dunia ide dan dunia empiri. Ide bersifat niscaya kebenarannya, kebenaran a priori yang tidak membutuhkan pengalaman. Dengan mengandalkan rasio kita akan sampai pada ide yang pasti dan tak akan berubah. contohnya adalah 1 + 1 = 2. dari jaman Plato sampai sekarang hasil perjumlahan dari 1 + 1 = 2. Pengetahuan model a priori berbeda dengan pengetahuan kita yang berubah-ubah hasil dari pengamatan, misalnya ketika kita melihat sebuah pohon yang masih pendek, beberapa tahun kemudian pohon tersebut lebih tinggi dari tinggi kita, pengetahuan kita tentang pohon itu berubah, bukan? Tadinya terlihat pendek,  beberapa tahun kemudian menjadi pohon yang tinggi. lalu timbul sebuah pertanyaan, Pohon yang mana yang benar dan hakikat? Pohon ketika ia pendek atau ketika ia tinggi? Plato berpendapat, kita tak bisa berpijak pada suatu yang berubah dan impermanen. Pada akhirnya  Plato mendikotomi secara hierarkis kedua pengetahuan tersebut. Dia mengutamakan pengetahuan a priori yang niscaya dibanding empiri yang kontingen, maka dari itu Plato sangat mementingkan Matematik dan Geometri.
Setelah belajar beberapa lama pada Plato, Aristoteles berbeda pendapat dengan gurunya. menurut dia suatu hal yang kurang tepat jika kita mengesampingkan dunia empiri, empiri juga sangat penting untuk bisa mendapat pengetahuan. Pindahlah Aristoteles dari Akademia. Pengetahuan yang dia dapat dari Plato tidak ia lupa. Dari cara berpikirnya Plato yang mengutamakan rasio, Aristoteles menulis sebuah buku berjudul Organon. Organon itu artinya alat, maksudnya, rasio itu penting sebagai alat mendapat pengetahuan. buku tersebut memuat kaidah-kaidah berpikir yang kita kenal dengan Logika. Dalam logika, cara berpikir yang dipakai adalah deduksi. Deduksi ini artinya pengambilan kesimpulan dari suatu yang umum ke yang khusus.
Deduksi ada dua,  langsung dan tidak langsung. contoh dari deduksi langsung seperti berikut
Sebuah proposisi “Semua manusia akan mati”. memiliki kesimpulan kontradiktoris  “Sebagian manusia tidak akan mati”
Deduksi tidak langsung menggunakan silogisme. Memakai Premis Mayor dan Premis Minor, lalu ditarik kesimpulan. Misalnya
Semua manusia akan mati
Ginan adalah manusia
Jadi, Ginan akan mati.
Dengan metode deduksi kita mendapat pengetahuan yang pasti, tapi setelah waktu berjalan, deduksi mendapat banyak kritik. Menurut para kritikus, logika deduksi ini sangat formal. memang, kita bisa mendapat kesimpulan yang valid tapi metode deduksi seolah tidak peduli dengan kenyataan empiri. Kita hanya melihat aspek formal semata, tanpa menghiraukan material (isi dari premis).
Selain itu, logika deduksi pun memiliki paradox. Misalkan ketika saya berkata “Sekarang saya sedang berbohong” timbul sebuah pertanyaan “Bagaimana cara mendeduksinya? jika kamu menyimpulkan perkataan saya benar, berarti saya itu bohong. Jika kamu menyimpulkan perkataan saya salah, maka berarti saya tidak bohong, padahal saya berkata, saya ini bohong, sebuah paradoks!
Kekurangan yang fatal dari deduksi adalah dia  mengacuhkan isi.
Semua Mahasiswa Filsafat UI menyukai dangdut
Ginan Mahasiswa Filsafat UI
Ginan menyukai dangdut
Secara formal silogisme ini shahih dan valid, tapi secara material, apa benar semua Mahasiswa Filsafat UI menyukai dangdut? Mungkin saja tidak! Mungkin ada beberapa orang yang menyukai lagu rock atau heavy metal, kita tidak tahu. Maka dari itu deduksi sering disindir sebagai Dua buah kebohongan yang menghasilkan  satu kebenaran.
Kritik yang menohok lainnya bagi deduksi adalah anggapan bahwa deduksi itu tidak menghasilkan pengetahuan baru. Apa yang dihasilkan deduksi memang rasional, shahih, dan valid, tapi so what? Ginan akan mati? Semua orang sudah tahu, tak perlu kita menggunakan silogisme.
Dari abad ke 3 SM sampai abad ke-15,  metode deduksi ini digunakan untuk meraih pengetahuan, hingga pada akhirnya Francis Bacon, Sang pembaharu,  menulis buku berjudul Novum Organon, yang memiliki arti ‘alat yang baru’. Dia melahirkan metode induksi. Metode ini adalah jawaban bagi metode deduksi yang mengabaikan aspek material.
Induksi adalah menentukan yang tidak teramati dari yang teramati. Misalkan begini, ada deretan angka
110 1110 110 1110 110 1110 110 1110 110 1110 ….
Angka berapa selanjutnya?
Lanjutannya adalah 110. Dari mana kita bisa tahu padahal titik itu tidak teramati oleh kita? kita bisa tahu hasil tersebut dari pengamatan kita terhadap angka-angka sebelumnya.
Induksi menjanjikan  pengatahuan yang baru, karena dengan pengamatan kita bisa menghadirkan prediksi yang tepat. Ilmu itu dianggap tinggi atau rendah tergantung dari tingkat keakuratan prediksinya. Filsafat, sejarah, dan sastra adalah ilmu yang dianggap rendah belakangan ini karena mereka tidak memiliki kemampuan prediktif.
Induksi dipakai hingga sekarang untuk menemukan penemuan-penemuan baru. Newton menemukan teori gravitasi universal dengan metode ini. Dia mengamati setiap benda jatuh pasti tertarik ke Bumi, maka ia menyimpulkan bahwa semua benda pasti akan jatuh ke Bumi, lahirlah teori gravitasi.
Sama halnya dengan deduksi, induksi memiliki kelemahan. Dia sangat rentan terhadap falsifikasi karena apa yang kita amati jauh lebih sedikit dari apa yang tidak teramati. Bagaimana jadinya jika sesuatu yang tidak teramati berlawanan dengan pengamatan kita selama ini? Tentu hasil penyimpulan kita menjadi gugur.
Misalkan kita mengamati 100 angsa, ternyata 100 angsa yang kita amati itu berwarna putih, maka kita menyimpulkan semua angsa itu berwarna putih. Ini sesungguhnya amat gegabah. Kita hanya mengamati 100 angsa, padahal masih ada jutaan angsa yag belum kita amati. Bagaimana jika suatu ketika kita menemukan angsa berwarna hitam? Maka hasil pengetahuan induksi tersebut runtuh. Dengan demikian, meruntuhkan induksi hanya membutuhkan satu anomali. ini membuktikan induksi sangat rentan. Fisika, kimia, dan biologi diklaim sebagai ilmu yang mapan dan pasti, tapi rentan hancur bagai sarang laba-laba, bisa rusak oleh satu anomali.
Metode yang terakhir dalam meraih pengetahuan yang valid adalah dengan metode Sherlock Holmes. Tokoh fiksi hasil karya dari Sir Arthur Conan Doyle. Nama metode ini adalah abduksi, yaitu Mengambil kesimpulan dari sesuatu yang memiliki paling sedikit asumsi.
Abduksi ini sebenarnya sudah digagas oleh William Ochkam. Dia menyebutnya parsimony, alias simplicity. Metode abduksi memilih best explaination sebagai sebuah kesimpulan yang bisa kita jadikan pengetahuan, ketika eksplanasi itu menjelaskan dengan sempurna, maka eksplanasi itulah yang diambil mejadi kesimpulan.
Misalnya dalam kasud di Sleman beberapa waktu yang lalu. Ada sekelompok orang yang mengendarai truk, mereka menutup wajah dengan kupluk dan membawa senjata api. Di antaranya ada yang membawa AK 47, granat, dan senjata laras pendek. Mereka masuk ke sebuah lapas dengan sangat taktis dan cekatan, di hadapan sipir mereka memperlihatkan tanda bahwa mereka dari Kopasus. Mereka membunuh para tersangka yang ditahan karena membunuh seorang Kopasus beberapa hari yang lalu dari kejadian. Setelah membunuh mereka langsung keluar dan pergi dengan sangat cepat, mereka membawa semua rekaman CCTV. Oprasi yang mereka dijalankan sangat rapih. Ini kejahatan tingkat dunia. Ada segerombolan orang membunuh di dalam lembaga pemasyarakatan. Ngeri banget.
Muncul sebuah pertanyaan, Siapa pelakunya?
Argumen pertama, jelas yang melakukan kopasus. Sudah jelas  gerombolan punya keterkaitan kasus dan motif dengan pembunuhan Kopasus beberapa waktu yang lalu. Jika dilihat dengan adanya AK 47, mungkin juga brimob yang melakukan, tetapi Kopasus beralibi, tidak mungkin dari Kopasus karena semua anggota Kopasus pada malam kejadian sedang apel dan tidak ada yang keluar kawasan upacara apel tersebut. Sedangkan TNI mengklaim, tidak ada militer yang terlibat, lalu menuduh pada sipil.
jika disederhanakan, ada dua kemungkin pelaku : Pertama, pelakunya adalah sebuah satuaan. Kedua, pelakunya adalah warga sipil.Jelas, jika menggunakan metode abduksi, kita akan mengambil satuan sebagai pelaku, karena itulah yang memiliki sedikit asumsi. Jika kita memilih warga sipil sebagai pelaku, kita membutuhkan penjelasan yang lebih. Penjelasan tentang bagaimana mereka mendapatkan senjata? Bagaimana mereka bisa melakukan oprasi taktis yang membutuhkan keahlian khusus seperti itu? Dan banyak lagi yang mesti diberikan penjelasan, sangat berbelit dan tidak efektif.  Metode abduksi akan menyimpulkan Kopasuslah yang melakukan itu, Jadi abduksi mengambil yang paling simpel dan masuk akal sebagai argumentasi yang kuat.
begitulah kiranya 3 metode meraih pengetahuan yang valid dan justified. ketiga metode tersebut bukan metode yang terpisah-pisah. Kita bisa menggunakannya dengan berkesinambungan dan sesuai kebutuhan. Tidak ada metode yang paling baik, masing-masing memiliki kekurangan. jika  metode tersebutndigunakan dengan tepat, mereka bisa saling melengkapi.
Jika kita ingin berpikir dengan canggih. Pakailah 3 metode ini. Semoga bermanfaat dan…..
Selamat menjadi seorang detektif!

No comments:

Post a Comment